Penulis Afdal Ade Hendrayana, VDMS Alumni dari Universitas Negeri Padang (UNP)
Melbourne – Hujan gerimis di luar sana. Sebaliknya, percakapan tetap hangat dalam sebuah ruangan yang berada di lantai 4 Fakultas Seni dan Pendidikan, Univeritas Deakin Australia. Tak menyangka percakapan yang diselingi canda tawa di sore Kamis (13/10), menjadi pelajaran berharga dan motivasi bagi saya yang baru hitungan hari menginjakkan kaki di negeri Kangguru. Sosok yang berbicara di depan saya laksana ‘padi’; semakin berisi, semakin merunduk. Sebuah peribahasa yang menggambarkan sosok seorang Profesor Ismet Fanany. Urang awak yang begitu dikenal di Ranah Minang, bahkan Indonesia, khususnya di bidang sastra. Tak sampai di situ, Amerika dan Australia pun dirambahnya dalam menimba ilmu. Alhasil, sekarang ia dipercaya sebagai Ketua Program Bahasa dan Kajian Indonesia di Universitas Deakin, Melbourne, Australia.
Berbekal dari segudang pengalaman yang dia peroleh semasa kuliah, dia memulai pembicaraan tentang minat dan kegemarannya dalam menulis. Kegemaran dalam menulis ia tekuni sejak duduk di bangku sekolah menengah. Cerpen perdana di muat di Harian Haluan Padang sewaktu masih mahasiswa Jurusan Bahasa Inggris IKIP Padang (Sekarang UNP). Pada tahun 2003, ia menerbitkan novel pertamanya berjudul Kusut. Baginya menulis itu lahir dari dalam dan itu butuh proses serta kerja keras. Dengan proses dan kerja keras yang sungguh-sungguh, dia telah menghasilkan banyak karya dalam bentuk novel dan cerpen yang dimuat di berbagai media, salah satunya Harian Kompas. Beberapa karya terbaiknya diterbitkan dalam kumpulan cerpen terbaik kompas antara lain “Separoh Jalan” (dalam Pistol Perdamaian 1996), “Hadiah dari Rantau” (dalam Anjing-anjing Menyerbu Kuburan, 1997), dan “Batu Menangis” (dalam Jejak Tanah, 2002). Dua novel karyanya juga terpilih oleh badan pemberi dana nasional Amerika Serikat dalam bidang kesusasteraan (National Endorsement for the Arts), yang kemudian mendanai penerbitan Bulan Susut ke dalam Bahasa Inggris dengan terjemahan dilakukan oleh istri tercinta, Rebecca Fanany. Masih banyak lagi karya tulis dari profesor lulusan Cornel Universitas Amerika Serikat ini.
Dia menjelaskan bahwa bagi seorang penulis terkenal sekalipun, ia tak terlahir sebagai penulis. Kemauan dalam menulis adalah refleksi dari kegemaran membaca seseorang. Ia mengutip salah satu kutipan yang menyatakan Success is 99% attitude and 1% aptitude. Attitude diartikan sebagai sikap kerja keras seseorang dalam berusaha untuk mencapai hasil yang memuaskan. Hanya 1% kecerdasan, kemampuan serta kecakapan yang menentukan keberhasilan seseorang. Artinya bahwa usaha untuk menjadi penulis terkenal adalah dengan kerja keras untuk mau membaca dan meluangkan waktu untuk menulis. “Keinginan seseorang bisa dilihat dari apa yang ia lakukan dalam aktivitas sehari-hari,” ungkapnya. Ia menambahkan mana mungkin seorang berkata ingin menjadi penulis terkenal sedangkan ia tak pernah terlihat memegang pena dan buku untuk menulis.
Semangat dan kerja keras Profesor yang sebelumnya pernah menjabat Ketua Jurusan Bahasa dan Kajian Asia di Universitas Tasmania ini juga terlihat dari ekspresi dan mimik wajah dalam berbagi ilmu dan pengalaman. Dengan ekpresi yang selalu tersenyum dan tertawa lepas, ia juga memberikan ‘wejangan’ tentang hubungan antara bahasa dan budaya. Baginya setiap orang bisa menggunakan bahasa dengan lancar, namun belum tentu bisa menyampaikan makna dan maksud dari apa yang diinginkan kepada lawan bicara. Hal ini di-karenakan ketidakmampuan dalam penggunaan konteks budaya. Bisa berbicara, tetapi tidak bisa berkomunikasi. Berkomunikasi dengan baik dan efektif menuntut bukan hanya keterampilan berbahasa, kata Ismet, akan juga pemahaman budaya lawan bicara dan lingkungan termpat komunikasi itu terjadi.
Ia mengilustrasikan dengan fenomena yang terjadi pada beberapa mahasiswa asal Indonesia yang menyelesaikan studi S3 mereka di Australia. Kemampuan bahasa Inggeris mereka untuk berbicara mungkin bagus, namun kemampuan dalam melakukan komunikasi secara efektif dalam konteks hubungan kerja sama di antara universitasnya di Indonesia dengan sebuah universitas Australia, misalnya, sangatlah lemah. Ini pernah dikeluhkan kepada Ismet oleh salah seorang Rektor di Indonesia yang berkeinginan menjalin kerjasama dengan sebuah Universitas Australia dan menugaskan dosennya yang mendapat S3 dari Australia untuk melaksanakannya. Rektor tersebut mengeluhkan betapa rendahnya kemampuan dosen tersebut untuk merundingkan, apalagi melaksanakan kerjasama yang diinginkan itu sehingga hasilnya tidak jauh lebih banyak dari sekedar penandatanganan MoU. Menurut Ismet, salah satu faktor utama yang menjadi penyebabnya adalah rasa enggan dosen tersebut untuk bersosialisasi dan melakukan aktivitas secara langsung dengan orang Autralia waktu mereka kuliah di sana, baik dengan orang Australia di dalam kampusnya maupun masyarakat umum. Mereka tinggal dengan sesama mahasiswa Indonesia, lebih banyak berinteraksi dengan orang Indonesia di tempat mereka kuliah itu, dan lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia ketimbang bahasa Inggris. Alhasil, beberapa universitas di Indonesia kekurangan tenaga manusia yang terampil untuk melakukan kerja sama dengan institusi atau universitas luar negeri. “Ini menjadi sebuah fenomena yang mesti diperhatikan oleh lembaga-lembaga pemberi beasiswa di Indonesia,” terangnya.
Ketertarikan Profesor Ismet tak hanya di bidang sastra saja, ketertarikan akan musik dan seni pertunjukan Minang pun ia tekuni. Terbukti dari karyanya berupa teks Rabab Pasisie yang diberi judul Kusuik. Rabab yang merupakan musik tradisional asal Sumatera Barat ini merupakan novel-rabab dari hasil karya pertamanya yang berjudul “Kusut”. Dengan menggandeng musisi Alkawi sebagai pemain rabab, Ismet menunjukkan kecintaannya dengan Ranah Minang meski sudah puluhan tahun di negeri orang. Hasil karya Rabab yang dibuat tahun 2015 ini sudah diperjualbelikan dalam bentuk CD. Hasil karya buku novel dan novel-rabab mendapat sambutan baik dari masyarakat Minang. Antusias masyarakat yang terdiri dari kalangan seniman, budayawan, wartawan, dosen, guru dan mahasiswa memadati kegiatan seminar dan peluncuran buku novel dan novel-rabab Kusuik yang diadakan di UNP tahun lalu. Selain itu, Ismet menulis sebuah naskah randai dalam bahasa Indonesia berjudul Hari Bela Negara yang dipentaskan pertama kali di Teater Terbuka FBS Universitas Negeri Padang (UNP), oleh para mahasiswa Sendratasik UNP dan dipimpin oleh Pak Wimbrayardi, dosen Sendratasik UNP. Banyak hal lagi yang akan dibagikan kepada pembaca tentang sosok Profesor Ismet Fanany pada tulisan selanjutnya. Selamat menanti. ***
Summary:
In a few days of my arrival in Australia, I met an experienced writer named Professor Ismet Fanany. He is originally from Padang (Minang), Indonesia. He shared a good lesson and motivation in writing. Prof. Ismet mentioned that writing comes from ourselves and takes a big effort. As a writing expert, he was not born directly in this expertise. Writing ability is trained and the willingness to write is a reflection of reading habit. It was also said that “Success is 99% attitude and 1% aptitude”. This indicates that to be a writer, one must spend the time to read and write, read and write again and again. The true willingness in writing is pictured from everyday’s activities. How can someone be a good writer if he/she never touches any pen and pieces of paper.
Besides a deep discussion on writing, there is out-of yet interesting topic that we discussed. It was related to communication on the cross cultural understanding. As he lives in Australia, it is not once that he found Indonesians’ difficulties in relating communication ability and cultural context (Australia). It is a pity that Indonesian students (especially S3 students) who found it hard to make cooperation effectively between universities in Indonesia and universities in Australia. Their English is good, but the cross cultural and communication ability are lack. Therefore, it is a message for us to master both good communication and maintain the cultural understanding in this context. To close, for those who have great willingness to master the writing, start writing and keep reading and writing habits.
Sharing – Volume 1 | XI | 2016